Tuesday, May 6, 2014

Belajar Hidup: Menghargai Karya Sendiri

Dalam kehidupan duniawi yang fana ini, kita terus-menerus belajar. Pelajaran itu bisa datang dari orang lain di sekitar, dari ilmu pengetahuan hingga dari alam itu sendiri. Tentu saja apa yang kita dapatkan tergantung sudut pandang dan cara kita menanggapi, bisa pelajaran yang positif atau malah negatif.

Sebenarnya, bagaimana orang memberikan sebuah pelajaran pun bisa dengan dua cara, kubedakan saja dengan mainstream dan anti-mainstream. Mainstrean untuk cara yang wajar, lumrah dan sering dilakukan, sedangkan anti-mainstream untuk cara-cara yang tidak wajar dan ekstrim. Salah satu pelajaran yang diberikan dengan cara anti-mainstream aku dapatkan dari guru SMP-ku dulu.

Beliau adalah Bapak Bonar Timbul Hutagaol. Beliau merupakan guru yang nyentrik, unik, aneh dan ajaib. Pak BT, begitu kami murid-murid memanggilnya, adalah seorang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kelakuan, kebiasaan dan aksi-aksinya sering kali mengundang gelengan kepala keheranan.

Pak BT guru yang tidak biasa. Saat murid-murid biasanya menyematkan julukan lucu kepada guru, khususnya guru yang killer, Pak BT justru memberikan panggilan-panggilan unik kepada muridnya. Aku dipanggilnya Benget. Menurutnya, nama Bene terlalu keren dan tidak pas buat mukaku yang sangat Batak. Ada lagi temanku yang dipanggilnya Lazarus, karena badannya yang pendek. Seorang teman lagi dipanggilnya Sompel, karena satu gigi serinya patah bersisa setengah. Sangat banyak panggilan-panggilan lain seperti Spongebob, Scooby Doo, Sinchan, yang digunakan beliau.

Pak BT sangat humoris, sering bercanda saat mengajar. Beliau juga dekat dengan murid-muridnya. Guru-guru yang lain menjulukinya sinting. Pernah beliau tak masuk kelas mengajar, saat dicari ternyata sedang main tenis meja dengan guru olahraga. Murid yang disuruh mencarinya, malah diminta jadi juri untuk menghitung skor.

Pak BT sering sekali meninggalkan kelas tanpa alasan yang jelas. Suatu kali, kelasku berisik karena ditinggalkan Pak BT begitu saja. Karena mengganggu, Bapak Kepsek masuk dan memarahi kami.

“Kalian kok bising kali? Siapa gurunya? Kenapa kosong?”

“Pak BT, Pak.”

“Oalah, kalo Bapak itu, Bapak pun malas ngurusinya. Kalian jangan ribut, ya!”

Bahkan Kepala Sekolah pun menyerah.

Cara mengajar Pak BT sangat ekstrim. Suatu kali kami diminta membuat cerpen. Setelah berjuang beberapa malam mengumpulkan ide, menggarap dan menyelesaikannya dengan kekuatan ekstra, cerpen yang kukumpulkan hanya dilihat sekilas, kemudian dicoret silang dengan ukuran yang besar. Cerpenku salah dan diminta dibikin ulang. Usut punya usut, kalimat pertama yang kuketik lupa diberi tanda baca titik. Tega!

Namun, dari ke-eksrim-an beliau aku belajar hal itu. Waktu itu topik pelajarannya adalah iklan. Setelah menjelaskan dengan singkat tentang apa itu iklan, Pak BT meminta kami membuat sebuah desain poster iklan untuk detergen.

“Kalian gambar poster iklannya. Yang diliat bukan bagus atau enggaknya gambar kalian, tapi ide kreatif di konsep iklannya. Jadi yang ga bisa gambar ga usah takut. Bapak tinggal dulu ya, Bapak lapar, ke kantin bentar. Nanti kalo Bapak balik, udah harus beres!”

Beliau menghilang. Suasana kelas tenang serius. Aku dan teman-temanku sibuk melakukan apa yang diperintahkannya. Hampir sejam berlalu, Pak BT kembali.

‘Oke. Udah selesai? Sompel, bawa ke sini punyamu!”

Temanku maju membawa desain poster iklan yang dibuatnya. Beliau melihat sebentar dan memberi penilaian.

Begitu bergantian satu murid maju ke meja guru menunjukkan hasil karyanya.

Tibalah giliran Rio, teman sekelasku yang pemalu, untuk dinilai.

Saat berjalan menuju meja guru, apesnya Rio berujar, “Maaf, Pak. Punyaku jelek.”

Pak BT kemudian menerima buku tulis Rio dan melemparkannya ke sudut kelas, sambil berujar sinis, “Yaudah kalo jelek!! Ngapain diperiksa!!” Ekspresi Pak BT keliatan kesal. Kelas hening keheranan. Rio sendiri menunduk dan kembali ke bangkunya.

Saat itu, yang muncul di pikiranku adalah opini bahwa Pak BT kejam dan tidak punya perasaan. Seorang guru yang harusnya mengayomi, memberikan teladan malah melakukan aksi yang sulit diterima akal sehat. Guru melempar, membuang hasil kerja siswanya. Gila!

Keadaan kelas menjadi hening dan kaku. Setelah semua murid selesai diperiksa, sebelum Pak BT menutup kelasnya, beliau berkata, “Maaf kalo Bapak kasar. Itu karyamu sendiri, hasil kerja kerasmu. Kalo kau sendiri ga menghargai, gimana orang mau menghargainya.”


Aku mengingat betul kejadian itu hingga saat ini. Walau disampaikan dengan cara yang tidak biasa, tidak baik, ajaib dan gila, nyatanya pelajaran yang beliau beri menancap, terngiang dan langsung diterima, setidaknya olehku.

Hari itu aku belajar, bahwa untuk dihargai orang lain, hal pertama yang harus dilakukan adalah menghargai karya sendiri.

3 comments

bang beeeen \m/ tebak aku siapa :-P

Gila kau ben, masih ingat itu... Aku juga ingat semua, termasuk saat pertemuan pertama waktu dia mau ngajar dikelas kita... Kena strapp di depan, karna kelakuan jahil cewe" dikelas...Kwkwkw :D

waahh .. bener iyah bener bg pak BT . hahaa .. guru yg lucu . titik .