Minggu lalu aku akhirnya balik
lagi ke Jogja. Kepulangan kali ini sebenarnya nggak murni keinginanku. Andre, seorang
kawan yang kini udah bekerja, ngambil cuti dan pengen liburan ke Jogja.
Sekaligus juga bernostalgia, ngelepas rindu sama kawan-kawan lama yang masih
menetap di Jogja. Akhirnya, atas bujuk rayu Andre, aku ikut.
Aku dan Andre lulus bareng. Dia
yang merupakan sarjana teknik sipil, lalu diterima sebagai karyawan sebuah
perusahaan kontraktor dan ditempatkan ke daerah. Aku nggak tau persis di mana,
pokoknya sekitar empat jam dari kota Padang. Proyek yang dikerjakan adalah
pembangunan jalan. Katanya, ada sekitar sepuluh karyawan di sana dan sekitar
tiga puluh pekerja lokal. Mirisnya, semuanya laki-laki. Tempat tinggal berupa
mess dari papan kayu kelapa, berada di tengah hutan, jauh dari keramaian.
Hiburan yang bisa dinikmati hanyalah internet, televisi dan futsal.
Di Jogja, Andre ngajak kawan-kawan
lama ngumpul, nongkrong menghabiskan waktu kayak zaman awal kuliah dulu. Tapi,
keadaan memang udah nggak sama lagi. Ngajak kawan ngumpul nggak semudah
semester 1 dan 2 dulu. Tiap orang udah punya kesibukan masing-masing.
“Cuk, nongkrong, yok!” Andre
menelepon seorang kawan.
“Loh, di Jogja kau?”
“Iya, lagi liburan aku. Yok lah.”
“Aduh, lagi ngerjain skripsi aku.”
“Kubayarin. Tenang kau.”
“Ketemuan di mana kita?”
Karena rayuan ditraktir, empat orang kawan pun berhasil terkumpul.
“Pesan aja. Suka-suka. Abang
Andre yang bayar,” kata Andre sombong gitu nyampe di sebuah cafe. Aku yang
dikasih mandat menentukan tempat, sengaja milih cafe yang agak mahal. Kalo
bayar sendiri, pasti yang kupilih angkringan atau burjo—semacam warkop.
“Mantap!!!” kawan-kawan merespon
bahagia.
Sambil nunggu pesanan datang,
seorang kawan bertanya mewakili pemikiran kami semua.
“Tumben, Ndre, mau bayarin. Beda
ya kalo udah kerja. Kaya, bah!!!”
“Dulu pelit padahal kau. Nraktir
sekali setahun. Pas ulang tahun doang. Itupun karena wajib,” timpal kawan yang
lain.
Semasa masih mahasiswa, Andre
memang termasuk kere. Nggak beda jauhlah samaku. Sering ngutang di akhir bulan dan
mempertahankan hidup dengan bantuan indomie. Aku bahkan menjulukinya sebagai “Bapak
Energen Indonesia”, karena sering kali mengonsumsi energen kalo dia lapar bukan
di jam makan.
“Bukan kaya, Wak. Di sana memang
Awak punya uang. Tapi stres kerja terus, nggak tau mau diapain. Untuk apa punya
uang kalo nggak bisa dinikmati. Makanya aku ke Jogja, ngajak kalian ngumpul. Nggak
apa-apalah keluar uang, asal Awak nikmati. Bikin dulu Awak ketawa!”
Mereka semua ngeliat ke arahku. “Ben,
sekarang tugasmu. Stand up dulu kau,” kata salah satunya.
“Udah, main kartu aja kita.” Aku
membagikan kartu, mengalihkan topik.
Ya, begitulah. Perlahan, orang
akan paham, kalo uang aja belumlah cukup.