Orangtua adalah wakil Tuhan di
dunia, begitu ajaran yang kudapat semasa kecil dulu. Kalimat yang kuyakini
dengan teguh itu, membuatku begitu menghormati Bapak dan Mamak.
Kebanyakan memang ajaran itu
terbukti nyata. Bapak dan Mamak melakukan banyak hal, mengusahakan ini itu,
untuk kami anak-anaknya, tanpa mengharapkan imbalan. Sesutau yang sangat mirip
dengan cara Tuhan mencintai umatnya. Cinta kasih yang tulus, tanpa syarat dan
ketentuan berlaku. Beda dengan tarif murah operator seluler.
Tapi, bagaimanapun juga, harus
diakui, ajaran ini sesekali salah. Ada masa di mana aku terpaksa meyakini,
orangtua sama sekali bukan wakil Tuhan. Berbeda dengan Tuhan yang maha
sempurna, maha mendengar, maha mengampuni dan banyak maha-maha lainnya, tampaknya sifat itu tak dimiliki
wakilnya—orangtua. Kerap aku menemui alasan-alasan yang membuatku semakin
yakin, walaupun orangtua wakil Tuhan, mereka tak serta merta memiliki sifat
mendekati Tuhan, bahkan setengahnya Tuhan.
Mamak yang pelit, tidak mewakili
maha pemurah yang dimiliki Tuhan. Kalo sedang marah, Mamak bisa memperkosa
perutku dengan cubitan brutalnya, padahal aku udah meminta ampun karena
melakukan sebuah kesalahan, tidak sedikitpun menggambarkan kalo sifat maha
mengampuni Tuhan ada padanya. Bapak yang kalo udah tidak setuju dengan sesutau,
tak mau mendengarkan apapun alasan yang kuutarakan, jauh dari sifat Tuhan yang
maha mendengar.
“Mak, belikan dulu itu!” selalu
diikuti dengan “Bah, kau pikirnya daun-daun uang itu, bisa diambil di halaman
rumah!”
Bapak memang tak sering melarang.
Tapi sekali Bapak nggak setuju, berdebat macam mana pun hebatnya, tak akan
pernah mengubah jawabannya. Debat selalu berakhir dengan, “Kubilang nggak, ya
nggak!”
Waktu kecil dulu, saat menghadapi
kepelitan dan cubitan brutal Mamak, saat berdebat dengan Bapak yang selalu
nggak mau mendengar, aku berjanji apabila jadi orangtua nanti, sifat-sifat itu
akan kuhindari. Aku nggak mau anak-anakku nanti, mengalami apa yang kualami.
Aku pingin jadi orangtua yang lebih baik daripada Bapak dan Mamak.
Sekarang aku udah menjelma
menjadi manusia yang lebih dewasa. Masa kecil itu udah lama berlalu.
Anehnya, tanpa kusadari bagaimana
prosesnya, aku tumbuh menjadi sosok yang penuh perhitungan. Nggak membelanjakan
uang sembarangan, berpikir berkali-kali untuk membeli sebuah barang, dan sulit
mengikhlaskan sejumlah uang untuk barang yang mahal. Perlahan tanpa kusadari,
aku memiliki sifat Mamak yang dulu kubenci itu.
Beberapa waktu yang lalu, adekku
sedang berkunjung ke kosanku. Kami bercerita banyak malam itu. Sampai akhirnya adekku
pengin aku, dia yang kuliah di Cirebon, dan adekku satunya lagi yang kuliah di
Jogja, pulang bersama satu pesawat saat Natal nanti. Aku yang tau ini bakal
jadi ribet, lantas nggak mau mengikuti keinginannya.
“Ayolah, Bang. Kan gampang
ngurusnya!”
“Kubilang nggak, ya nggak!”
Dia kemudian diam karena
kubentak. Aku pun diam.
Dalam hati aku sadar, “Kok, aku
kayak bapakku, ya.”
Samar-samar, aku mendengar suara
menjawab di kepalaku, “Ya, iyalah. Kalo kau bukan kayak bapakmu, baru aneh!”
Benar memang kata pepatah, buah
jatuh tak jauh dari pohonnya.
2 comments
Namanya juga anak orangtua, semakin kita tua, mungkin kita juga akan semakin mirip, bang. Contohnya bang Bene sendiri. :D
Buah mmg tak jatuh jauh dari pohon nya, kalo jatuhnya terlalu jauh perlu di tanyakan "Apakah kau anak tetangga???"