Sunday, December 14, 2014

Dibuang Sayang

Halo, Kawan. Apa kabar? Semoga sehat selalu, ya. Amen.

Jadi seharian ini aku nongkrong di acara Kumpul Penulis Pembaca 2014 yang diselenggarakan Gagas Grup (Gagasmedia, Bukune, Pandamedia dan Entermedia), makanya nggak bikin posting-an baru sesuai jadwal. Nah, tengah malam ini sesudah kembali dari acara itu, aku akhirnya bersua kembali dengan laptop. Kalo kata pepatah kan, lebih baik telat daripada nggak sama sekali, lebih baik telat daripada hamil. Untuk itulah aku mengusahakan tulisan ini.

Nah, berhubung otak udah lima watt dan udah nggak bisa diajak kerjasama mikir sebuah tulisan baru, kali ini aku mau posting tulisan yang pernah aku bikin dulu waktu diajarin sama Bang Alitt Susanto. Tulisan ini udah lama pengen ku-posting, tapi belum ketemu momennya. Mungkin inlah saat yang kutunggu-tunggu itu. Sayang kan kalo dibiarkan nganggur gitu aja.

Waktu itu aku, Fico dan beberapa kawan yang lain lagi main ke kosan Bang Alit, terus entah kekmana ceritanya, kami diajari nulis dengan cara penggalian ide yang ada di buku Creative Writing-nya AS Laksana. Prosedurnya Bang Alitt bikin potongan-potongan kertas kecil yang udah ditulisin kata-kata. Ada tiga kategori kata yaitu kata benda, kata kerja dan kata sifat. Tiap orang lalu disuruh ngambil satu dari setiap kelompok kata, menjadikan ketiga kata itu premis sebuah cerpen komedi. Kami dikasih waktu sejam buat bikinnya. Laporan dan punya Bang Alit sendiri ada di blog-nya di sini.


Aku dapat kata Supri, lari, dan lemah. Dengan modal tiga kata ini, dalam waktu sejam, jadilah sebuah tulisan yang diharapkan cerpen berkualitas apa adanya. Maklum kan masih belajar. Ini dia hasil tulisanku waktu itu.


Lemah Lari

Pintu kamarku dibuka dan dibanting dalam waktu yang sangat cepat. Aku yang lagi asyik main catur melawan bayang-bayang mantan, refleks memakan satu pion dan dua kuda. Sialnya, memakan dalam konteks ini adalah artian sebenarnya. Supri masuk dengan muka suntuknya, kemudian duduk tanpa beban di atas kasurku. Aku tersedak-sedak susah bernafas. Mukaku memerah. Sebulir air mata muncul di ujung mata kanan. Memang aku lagi bintilan.

“Whooii…, tholongg?!!” Aku berusaha meminta bantuan Supri menyelamatkan nyawaku.

Tetap dengan muka kusutnya, dia bergegas menghampiriku. Tiba-tiba dipukulnya pundakku dengan sangat keras. Kurasa, bakteri-bakteri jinak yang ada di badanku pun ikut mati karena ulahnya. Bidak-bidak catur terlempar dari mulutku. Nafasku lancar sekarang, tapi punggungku nyeri.

“Kau kenapa? Mau bikin mati orang kau ya?!!” Tentu aku wajar bertanya. Dia tiba-tiba datang dengan muka kayak coretan anak TK, mengagetkanku dan memukul pundakku dengan penuh dendam. Untungnya dia masih punya sedikit niat menyelamatkan nyawaku.

“Aku gak apa-apa kok…” Supri menjawab dengan cuek. Bentuk mukanya masih tak enak dipandang.

“Bah, kok jadi kayak cewek kau? Aku gak apa-apa kok? Jawaban macam apa itu?!!”

“Iya, gak apa-apa. Pengen main aja ke sini. Gak boleh apa?”

Supri memang rajin berkunjung ke kosanku. Paling tidak, delapan hari dalam seminggu, dia selalu menyempatkan diri merusak suasana di kamarku. Iya, aku tau sih seminggu itu cuma tujuh hari. Kutulis kayak gitu biar kau protes aja. Biar ada kerjaanmu.

Supri itu kawanku kuliah. Kami sudah bersahabat sejak semester-semester awal, dan persahabatan itu masih erat sampai sekarang umur semester kami sudah hampir menyaingi masa pemerintahan Pak Harto. Supri asli Jogja, kota tempatku berkuliah saat ini. Sementara aku merupakan perantau dari Tapanuli.
Supri itu tipikal orang Jawa yang baik, yang menjaga tata krama, sopan santun dengan sangat kuat. Kedatangannya dengan membanting pintu, lengkap bersama muka jelek kisut kayak jeruk purut itu, tentu bukanlah hal yang wajar. Pasti adalah masalah yang menimpa sahabatku ini.

“Ya bolehlah. Kapan kau kularang main ke sini, bodat!? Tapi mana pernah kau datang banting-banting pintu kamarku kayak gitu? Ada apa sebenarnya?”

“Aku gak apa-apa.”

“Serius dulu?!”

“Terserah!!”

“Udah betul-betul cewek kau bah. Tadi ga apa-apa, sekarang terserah. Kau kenapa?”

Supri diam. Tak tertarik mengobati keingin-tahuanku. Dia sepertinya benar-benar tak mau cerita kali ini. Tapi aku kenal Supri, dia selalu lemah, dia tak pernah berhasil lari dan menyembunyikan masalahnya dariku. Aku cuma butuh berusaha lebih keras saja membongkar rahasianya.

Aku harus mengatur siasat.

“Kau dari mana?” Tanyaku mencoba mengorek-orek informasi. Tak sia-sia aku sering menonton Detektif Conan. Sedikit banyak, aku punyalah ilmu memahami permasalahan.

“Dari rumah.”

Nah, apa kubilang. Pasti Supri sedang punya masalah. Dan sudah dipastikan, masalahnya ini kemungkinan besar berasal dari rumahnya. Mesti dia sedang ribut dengan adik, kakak, mamak, bapak atau baskom. Pokoknya salah satu dari begitu banyak sosok di rumahnya.

Strategi selanjutnya kulancarkan.

“Yaudah, kalo kau ga mau cerita. Pulang lah kau sana, aku mau pergi main futsal.” Dengan mengarang cerita begini, pasti Supri akan melunak, sebab dia tak ingin pulang ke rumah, sumber masalahnya.

“Janganlah, di sini aja aku. Aku lagi ga pengen pulang.”

“Kau dimarahi siapa di rumah? Tumben ga pengen pulang? Habis berantam kau ya?”

“Udah ah, ga usah banyak nanya deh.”

Supri tampak mulai tak senang dengan pertanyaan-pertanyaanku. Aku mengendurkan serangan. Kuambil remot tivi, terus kuhidupkan untuk sekedar mengisi keheningan kami. Ada berita sepakbola, soal kekalahan tragis 5-0 Real Madrid dalam laga melawan musuh bebuyutannya, Barcelona.

Aku sempat kikuk. Supri adalah fans fanatik Real Madrid. Dan kombinasi antara kekesalan yang belum terungkap itu dengan tontonan berita ini pasti bisa membuat dirinya berasap menahan emosi.

“Ups, sorry, Pri. Madrid kalah telak ya?” Tanyaku sok prihatin.

Supri hanya mengangguk lemah.

“MAAMMMPUUUSSS!! HUAHAHAHAHAHA!!” Tawaku pecah di depan mukanya.

“Bajigur kowe. Podo wae karo bapakku!! Djancok!!” Teriaknya emosi.

Nah, aku mulai memahami kenapa Supri datang dengan muka benang kusutnya. Aku teringat, kalo bapaknya Supri adalah fans fanatik Barcelona. Supri pasti kesal dengan hasil pertandingan dini hari tadi.

“Kenapa bapakmu? Kok sama kayak aku?”

“Iya, soal bola cocote ra iso dijaga. Aku lagi berduka gini, malah bikin makin runyam.”

“Lah wajar lah. Sepak bola kan soal menang dan kalah. Yaudah terima aja, ga usah berlebihan. Hari ini kalah, mungkin besok menang. Hari ini menang, mungkin besok kalah.”

“Ah tetap wae. Aku hampir gelut karo bapakku.”

“Loh, kenapa?”

“Kemarin pagi kami nonton bareng. Tiap gol bapakku ribut, selebrasi lebay. Aku ora senang. Malas aku di rumah ketemu dia. Aku di sini dulu ya.”

Berhasil! Aku paham apa masalah kawanku ini. Sudah kubilang, dia selalu gagal menyembunyikan sesuatu dariku. Saatnya memberikan dia sebuah pencerahan.

“Kekmananya kau ini?! Gila kau kurasa. Ya nonton bola, apalagi klub yang disuka menang, ya wajar senang, wajar selebrasi.”

“Tapi kan jangan di depanku lah. Kan klub favoritku lagi kalah.”

“Ga beres kau bah! Jadi menurutmu, kalau Madrid yang menang tadi pagi, kau ga akan selebrasi di depan bapakmu?”

“Ya selebrasi sih.”

“Terus salah bapakmu apa? Ga usah berlebihanlah. Suka bola itu wajar, rata-rata semua laki-laki suka bola. Tapi kalo kesukaan itu sampai merusak hubunganmu dengan orang-orang terdekat, kurasa udah ada yang salah di otakmu. Mungkin ada tomcat di dalamnya.”

Supri diam kuomeli. Sepertinya dia mulai menerima pendapatku.

“Udah, pulang kau sana! Mau juara, mau bangkrut, mau hilang semua pemain Barcelona atau Madrid dicuri orang yang kenal lewat kenalan Facebook, bapakmu itu tetap bapakmu.”

Supri menatapku, kemudian tersenyum manja. Aku sempat bergidik dibuatnya. Supri berberes, bergegas keluar dari kamarku.

“Makasih ya cuk!” Katanya dengan muka yang sudah berbinar.

“Makasih? Enak aja kau! Utangku lunas!” Kataku bergurau sambil menendang pantatnya.

 Tamat


Demikianlah cerita itu kutulis apa adanya pada masa itu. Semoga ada manfaatnya, ya. Terima kasih.

Salam sayang.

6 comments

sebelumnya aku udah baca cerpennya bang alit, tapi cerpen bang dion juga gak kalah seru sama punyanya bang alit .haha
sukses bang!

Gabungan logat jawa sama logat batak. Wakakakakka. Kampreet bang, tapi bikin gue ngakak pas umpatan khas jawa itu keluar. Btw gue juga Madridista, nih! Sama kayak Supri.

Hahaha aku memang suka pake umpatan itu. Enak di mulut :D

Asik. Makasih sudah mampir. Kamu juga sukses, ya! :)

Langsung ngebayangin bayang2 mantaku saat kugauli #Plak

Hmmmm...
Jarang ada cerita lontarkan logat batak begini....
Like this yoo bang...