Thursday, January 17, 2013

Banjir, Benarkah Bencana Alam?

Akhir Oktober hingga awal Desember 2012 yang lalu, selama 40 hari aku KP (kerja praktik) di PT Inalum (Indonesia Asahan Alumunium). PT Inalum adalah satu-satunya perusahaan peleburan di Indonesia dan terbesar di Asia Tenggara. Inalum juga merupakan satu-satunya perusahaan di Sumatera Utara yang bisa kubanggakan, sisanya hanya banyak perusahaan perkebunan dan beberapa industri yang tak begitu menarik perhatian. Tak seperti Kalimantan, di Pulau Sumatera memang tidak begitu banyak perusahaan besar, yang terkenal menurutku hanya Chevron di Riau dan Pusri (Pupuk Sriwijaya) di Sumatera Selatan.

Tak banyak yang tahu PT Inalum, termasuk di kalangan mahasiswa teknik. Entahlah, padahal perusahaan ini cukup hebat dan berprestasi baik. Kalau tak percaya, coba googling aja di youtube (oke jayus, i’m sorry!!). Inalum adalah perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing) yang terletak di Kabupaten Batubara, timur pesisir Pulau Sumatera, sekitar 2,5 jam perjalanan darat dari Kota Medan. Namanya belakangan dibicarakan media karena akan habisnya kontrak kerja sama selama 30 tahun dengan pihak penanam modal Jepang 2013 ini. Terjadi pro dan kontra mengenai pengambil-alihan oleh Indonesia atau melakukan perpanjangan kontrak.


Pabrik peleburan alumunium adalah pabrik dengan kebutuhan energi yang sangat tinggi. Jika tidak punya listrik dengan kapasitas besar dan murah, jangan pernah bercita-cita membangun pabrik ini. Rugi.

Darimanakah sumber listrik PT Inalum? PLN? Kurasa mustahil. Selain tidak mampu menyediakan listrik dengan kapasitas besar, sepertinya harganya juga relatif mahal. Pernah dengar PLTA Sigura-gura? Yap, pembangkit listrik tenaga air inilah sumber segala sumber aktivitas PT Inalum.

Sedikit berbicara sejarah. Danau Toba adalah danau yang sangat besar. Danau yang terbentuk akibat meletusnya Gunung Toba ini tentunya harus mempertahankan volumenya tetap stabil. Air dari danau harus mengalir ke laut agar volume air di danau tidak melebihi kapasitasnya. Itulah fungsi dari Sungai Asahan yang tercipta sepaket dengan danau itu. Sungai Asahan-lah yang mengalirkan air danau ke laut dan membuat Danau Toba tetap menjadi surga bagi masyarakatnya.

Pada tahun 1908, ide pembangunan pembangkit listrik memanfaatkan debit air sungai Asahan sudah tercetus. Bahkan pada tahun 1939, Pemerintah Hindia Belanda sudah merencanakan pembangunannya. Namun akhirnya batal akibat pecahnya perang dunia II. Lama proyek ini dilupakan. Hingga akhirnya pada tahun 1972, Nippon Koei, sebuah perusahaan konsultan Jepang mengajukan studi kelayakan PLTA kepada pemerintahan Indonesia. PLTA akan menghasilkan listrik yang sangat besar dengan biaya yang cukup murah. Namun pemerintah Indonesia tidak bisa menerima proyek kerjasama, akibat susahnya menjual listrik pada tahun itu untuk mengembalikan modal investasi kepada Jepang. Kebutuhan listrik pada masa itu tak semengerikan beberapa tahun belakangan ini.

Akhirnya setelah melakukan perundingan yang panjang, disepakati PLTA akan dibangun, dan listriknya akan dimanfaatkan untuk sebuah pabrik peleburan alumunium. Pabrik inilah yang akan membayar investasi yang dilakukan. Pembangunan PLTA dan pabrik diserahkan kepada pihak Jepang dan kerjasama ini dikenal sebagai Proyek Asahan.

Dari Sungai Asahan (PLTA Sigura-gura) di selatan Danau Toba, listrik ditransmisikan ke Kabupaten Batubara di pesisir Pulau Sumatera. Jaraknya sekitar 120 Km dan memerlukan 271 menara untuk menghubungkannya. Jauh sekali. Jauh.

Pada awalnya aku menganggap tolol proyek ini. Bagaimana bisa listrik di Danau Toba, tapi pabrik dibangun di ujung yang jauh di sana. Tentunya apabila pabrik dibangun di sekitar PLTA, dekat dengan danau, tak perlu dikeluarkan biaya yang besar untuk membangun 271 menara itu. Pembangunan menara itu pastilah sangatlah mahal. Sempat juga kepikiran, kalau pemilihan lokasi pabrik itu terkait dengan transportasi. Pengiriman ingot (batangan) alumunium tentu lebih murah apabila dilakukan via laut. Dan untuk itu, pabrik harus dibangun di dekat laut. Ternyata salah. Ga nyambung sama sekali.

Alam. Ya, jawabannya adalah alam. Setelah kutanyakan kepada mereka yang bekerja di sana, mereka kompak menjawab begitu. Kata mereka, itulah bedanya Jepang. Mereka mempertimbangkan alam. Apabila pabrik dibangun di sekitar Danau Toba, daerah dimana dua lempengan bumi bertemu, akan sangat rentan terhadap gempa. Gempa akan membahayakan pabrik. PT Inalum adalah pabrik yang tidak boleh berhenti dalam waktu lama. Apabila itu terjadi, akan menyebabkan kerusakan pada pabrik. Dan biaya renovasi kerusakan itu sebanding dengan biaya membangun pabrik kembali. Resiko ini benar-benar tak mau diambil. Penggunaan dana yang lebih dipilih daripada menanggung resiko yang diberikan alam. Jepang memilih mengalah kepada alam. Bersahabat dengan alam.

Bandingkan dengan apa yang dilakukan para pebisnis di Jakarta dan mayoritas kota-kota besar di Indonesia. Pembangunan pesat tak diikuti dengan perdamaian dengan alam. Manusia mencoba melawan alam. Bangunan industri yang sangat mewah dilakukan dimana-mana. Mall, gedung perkantoran, apartemen, jalan dan fasilitas bisnis seperti tiada henti terus bertambah setiap detiknya. Disengaja atau tidak, banyak yang melupakan bahwa pembangunan ini mengubah tanah yang tadinya bisa menyerap air hujan menjadi batu beton yang tak bisa ditembus air. Semakin parah lagi, tak ada solusi untuk mengganti daerah resapan ini dengan alternatif yang lebih baik, seperti lubang arteri atau pembuatan sistem aliran air yang baik menuju laut atau sungai. Dan yang paling parah diantara yang parah, daerah yang menjadi rahasia publik adalah daerah rawa yang berfungsi sebagai daerah resapan, juga disulap menjadi bangunan-bangunan beton keras tak tembus air. Kita benar-benar sok jagoan melawan alam.

Aku tak yakin para pebisnis itu tak mendapatkan pelajaran Siklus Hidrologi. Seingatku, di bangku SD pada mata pelajaran IPA, bagaimana proses air dibumi ini berputar-putar dalam sebuah siklus dijelaskan dengan baik. Air dari laut, danau dan sungai serta sisa-sisa aktivitas makhluk hidup menguap dan berkumpul menjadi awan. Kemudian diturunkan dalam bentuk air hujan untuk mengalir ke sungai,  danau dan laut, atau meresap menjadi air tanah. Aku tak yakin mereka tak paham ini. Sama sekali ga yakin.

Sekarang alam telah melawan balik. Oh tidak, maaf aku salah. Alam tak berubah, ia tetap sama. Hanya saja kita yang melawan. Seperti memukul tembok, perlawanan ini malah menyiksa tangan sendiri. Tangan menjadi luka, darah keluar, air mata jatuh, padahal tembok tak berbuat apa-apa. Ia hanya diam, sama seperti sebelumnya.

Dan tololnya, kita sama-sama menyebut ini bencana alam. Betapa tak adilnya, alam menjadi kambing hitam. Alam disalahkan. Alam dikorbankan. Padahal alam tak melakukan apa-apa. Dia masih sama. Dia tak berubah.

10 comments

mantap ben, fyi jakarta dulu dibangun tata kotanya sesuai dengan tata kota amsterdam, krn belanda tau jakarta brd di 4-5 meter permukaan laut...nah dulu dibangunlah kanal2 dan dinding sekitar sungai2 kota oleh ahli tata kota amsterdam Simon Stevin tp semua itu terutama kanal2 kecil td di hancurin ama tentara deandels (ingat napolean nglahin belanda)di sumbat tuh kanal pake material dinding kota biar pasukan belanda kena penyakit...jadilah jakarta spt skrg..

Ini bang Bene ya???
Horas Bang!!

Bagus kali kutengok blog abang ini..
Penuh pemikiran dan prinsip...

sukses terus dii SUCI3




''Neraka!!!!!''
''enak'''

bene, aku usul aja, biar blog tambah rame. ditambahin aja label khusus untuk humor. biar pengunjungnya tambah banyak, kan standup comedian. mampir ya ben ke blog ku www.bukuhidupandre.blogspot.com

@Dimas
Makasih bro. Amin amin :))

@Andreas
Oke bro. Mudah2an ntar bisa lebih ngurusin blog ini :))

bang, ini post-nya bener bener dalem. keep posting ya bang :))

Keren banget kata-katanya, sekarang orang-orang tak pernah berpikir sebab akibatnya. Mantap Bang :)

How nice this note! I enjoy it.. :D

teimakasih gan mudah-mudahan.bisa mejadiyang lebih baik oke.

salam kenal bene, aku anak pwk09 UGM juga. Iya aku juga setuju, bahwa sbnrnya pembangunan di indo itu ga pernah bener2 mikirin ttg alam, yaudahlah benana2 yg terjadi saat ini ga selalu murni dr alam, padahal pemeritah sndri yg bikin perencanaannya sampe berbuku2 tapi yaaa gtu lah. Thx for share :D