Dahulu, sebelum gerimis turun, di masa SMA, di masa alay masih sebuah gaya hidup buatku, aku pernah diceburkan ke dalam sebuah forum cerpen, puisi dan karya sastra lainnya oleh teman sekelas. Sebut saja forum itu kemudian.com.
Dalam forum ini, setiap orang bisa mem-posting karya mereka untuk dinilai dan dikomentari orang lain. Ada angka penilainnya loh. Keren kan! Buat kalian yang suka nulis tapi bingung minta pendapat dan kritik dari siapa, gabung aja di forum itu. Banyak penulis-penulis beken bermula dari sana. Menurut kabar yang beredar ya. Mihihi
Kemarin aku sedang asyik jalan-jalan tanpa tujuan di dunia maya, eh tiba-tiba aku terdampar ke forum itu. Aku mencoba login tanpa berharap username dan password-nya tepat, sama kayak aku ga berharap aku terlahir ganteng, namun apa daya, semesta berkehendak lain. Maka masuklah aku ke dalam forum itu dan menemukan akunku sempat memasukkan empat buah puisi.
Jelek sih. Hehehe. Tapi ga apa-apa lah ya. Ku-posting lagi di sini biar sekalian ga hilang puisi butut itu. Inilah ke-empat puisi itu (yang dalam kurung itu nilainya di forum Kemudian ya):
Pelangi (81)
Kau,
Pelangi diantara sukacita cahaya dan hujan airmata.
Tujuh warnamu adalah surga di antara neraka dunia dan dunia neraka.
Bentuk indahmu adalah keindahan diantara kepenatan dan kekosongan.
Aku adalah malam pengusirmu, Pelangiku!
Bukan karena tak indah lagi kehadiranmu.
Tapi pulanglah dulu.
Besok disini aku menunggumu.
Asa Benci Rindu (Aku Bukan Ranjau) (67)
Asa, bangunlah.
Sebab pagi sudah pulang lagi.
Walau sore masih disesali.
Sore yang mencekik hati.
Hati yang tak tau diri.
Benci, pergilah.
Sebab asa sudah pagi.
Sore telah ditinggal pergi.
Hati masih belum mati.
Rindu, datanglah.
Sebab pagi tak mau sore lagi.
Sore tak mau pagi lagi.
Hati masih bermimpi.
Kau, pahamilah.
Sebab asa pagi lagi.
Benci ditinggal pergi.
Rindu kembali tak mati.
Aku, sadarilah.
Asa akan selalu pagi.
Benci menjadi sore lagi.
Rindu tak mau malam lagi.
Tuhan, berilah.
Aku pagi.
Dia bukan belati.
Kami siang sehati.
Untukmu, empedu hati.
Mencintai yang Tidak Mencintai (66)
Apalah itu.
Tak tinggi aku berimajinasi.
Apalah itu.
Dangkal aku tak tergapai.
Apalah itu.
Kelu lidah tak kuucap.
Apalah itu.
Mencintai yang tidak mencintai.
Apalah itu.
Pentingkah itu.
Atau apalah itu.
Jika aku mencari dan mencitai yang mencintai.
Apalah itu.
Konflik Nurani (70)
Menari (!)
Bukannya lebih tepat berlari?
Tentu saja bukan (!)
Tapi mana iramanya?
Telah dibawanya pergi (!)
Jadi kenapa kau tak berhenti?
Kau pikir aku mati (!)
Tapi itukan tiada arti?
Siapa bilang, Tuhan saja mengerti (!)
Tapi jangan kau munafik?
Aku justru sadar diri (!)
Dan gerakan macam apa itu?
Ah, kau tak tau seni (!)
Kau melecehkanku?
Kau yang mengkehendaki (!)
Kenapa kau tak diam lalu pergi?
Hey, kan aku bilang aku belum mati (!)
Dan kuhendaki kau mati?
Sudahlah, jangan munafik (!)
Aku memang hiLang jatidiri?
Tidak, justru sedang kau cari (!)
Apakah kau mimpi?
Aku menari (!)
Aku tak mengerti?
Sejak kapan ini dapat dimengerti (!)
Sebaiknya kau pergi?
Akupun sebenarnya menghendaki (!)
Kenapa masih disini?
Imajinasi (!)
Aku tak merasa bermimpi?
Aku lagi (!)
Lalu bagaimana?
Cari lalu temui (!)
Apa?
Yang tak kau mengerti (!)
Apa?
Jatidiri (!)
Ah, pergi!! Pergi!! Pergi!!
Tak ada gading yang tak retak. Tak ada dewasa yang tanpa masa alay. - Bene Dionysius Rajagukguk
6 comments
Jadi semacam inspirasi gitu kau buatku bang. Semoga kau sadar ya bang kalo kau itu inspirasi banyak orang. Tetep berkarya!
thanks ya :)
bagus bang :))
keren bang. aku suka bahasanya :D
Yang konflik nurani keren banget!!! Holong ni rohaku tu ho...
tanda seru di akhir kalimat puisi konflik nurani, bwt apa y? (^_^)d