Saturday, September 20, 2014

Hal-Hal Menjengkelkan di Jakarta

Demi kau dan si buah hati, terpaksa aku harus begini.

Bisa dibilang memang terpaksa. Setelah lulus kuliah, kerja adalah proses hidup selanjutnya. Sebenarnya sih bukan kerja, tapi menghasilkan uang. Norma sosial yang berlaku menghukum mereka yang udah sarjana tapi nggak menghasilkan dengan tatapan sinis dan gunjingan. Aku yang udah sarjana, mau nggak mau harus ikut aturan ini. Jadi fulltime comic adalah pilihanku, paling nggak untuk saat ini. Selain karena suka dan memberikan kepuasan batin, effort yang dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah uang juga nggak sebanyak kalo jadi karyawan. Sebagai pusat dari ekonomi, Jakarta adalah tempat yang paling menjanjikan untuk pekerjaan ini. Makanya, demi pilihan ini, aku hengkang ke Jakarta. 

Udah tiga bulan aku menetap di Jakarta. Sebagai orang yang lima tahun berturut-turut tinggal di Jogja, terbiasa dengan segala macam kelebihan dan kekurangannya, pindah ke Jakarta pastinya menemukan perbedaan-perbedaan. Nggak jarang, perbedaan ini bikin kesal dan jengkel.

Berikut adalah hal-hal menjengkelkan yang kutemukan di Jakarta: 
  • Terlalu Mencintai Waktu
Orang Jakarta kayaknya sangat memegang teguh prinsip “time is money”. Segalanya serba terburu-buru, takut waktu terbuang sia-sia. Prinsip ini begitu kentara saat di jalanan, apalagi lampu merah. Mereka—kebanyakan para pengguna sepeda motor—pengin selalu terdepan, melewati batas garis di mana seharusnya mereka menunggu lampu hijau, agar begitu lampu berubah warna, mereka bisa langsung ngebut. Sangat mencintai waktu.

Anehnya, orang-orang yang taat aturan, yang menunggu di batas seharusnya, terkadang malah jadi orang bersalah yang diklakson-klakson dari belakang, dipaksa minggir atau ngikutin mereka yang nyosor ke depan. Udah gitu, kejadian kayak gini dibiarin aja sama polisi. Mungkin Pak Polisi udah lelah dengan semua ini.

Makanya, kombinasi antara contoh yang buruk, keadaan yang memaksa, serta pembiaran dari polisi, bikin mereka yang awalnya taat, lama-lama ikut ngelakuin hal yang sama. Betul memang isu yang bilang, Jakarta mengubah orang.
  • Parkir

Ini salah satu yang paling menyebalkan. Tiap ke Indomaret, Alfamart, Lawson atau sejenisnya, pas pulang selalu ada tukang parkir yang tiba-tiba nongol entah dari mana, morotin uang kita. Udah gitu, mintanya dua ribu lagi. Ini agak menyakitkan buatku yang terbiasa nggak bayar parkir kalo ke minimarket.

Di Jogja, kalopun ada parkir, bayar seribu terasa ikhlas karena dapat senyuman dan ucapan terima kasih dari si tukang parkir. Bikin hati teduh. Di Jakarta, muka tukang parkirnya kusut. Aku yang diminta uang parkir pun ikut-ikutan kusut.

Hal ini bakal lebih menyakitkan lagi kalo aku ke minimarket cuma untuk ngecek saldo, ternyata saldonya nggak cukup untuk melakukan penarikan, haus dan di kantong cuma ada dua ribu doang. Cobaanmu pedih sekali, Tuhan. 
  • Aturan Jalan yang Kompleks

Demi nama efektif dan efisien, aku nggak rela uangku habis untuk bayar ojek atau taksi kemana-mana. Makanya aku memboyong motor yang kupunya dari Jogja. Sebagai newbie di Jakarta, tentu aku buta dengan jalanan dan tempat-tempat. Untungnya ada Google Maps yang rela membantu tanpa pamrih.

Masalahnya, Google Maps nggak menyediakan rute untuk sepeda motor. Alhasil terkadang aku tiba di jalan yang nggak boleh dimasukin sepeda motor. Ini bikin kesal juga. Pusing nyari jalannya. Jalan tol misalnya. Katanya jalan tol itu bebas hambatan. Tapi motor nggak boleh masuk. Kalo gitu, ubah dong jalan tol itu jadi jalan bebas hambatan dan bebas motor.

Selain itu, kalo ternyata aku tersesat atau kelewatan, sangat susah nyari jalan untuk mutar balik. Kadang tempat untuk memutar balik baru ada satu kilometer kemudian. Sangat menjengkelkan.   
  • Pemandangan yang Menjemukan

Kalo sedang di jalanan protokol, sejauh mata memandang adalah gedung-gedung tinggi yang megah dan jalanan yang padat dan luas. Kalo memasuki perkampungan, sejauh mata memandang adalah rumah-rumah dan tempat tinggal yang kumuh dan jorok. Pemandangan ini sangat nggak sehat bagi jiwa dan raga.

Jakarta sangat minim ruang hijau yang sedap dipandang. Kalopun nggak ada ruang hijau, minimal sekitar yang teratur dan tertib. Nggak ada penenang jiwa atau pemandangan yang bikin segar. Sudahlah beban hidup berat, ditambah lagi nggak ada asupan visual yang bikin tenang. Nasibmu, oh ibukota.


Ya, namanya hidup. Selalu soal plus dan minus. Pindah ke Jakarta membawa beberapa kemudahan dan pada saat yang sama beberapa keburukan. Dinikmati aja sambil berharap Pak Ahok dan rekan-rekannya bisa pelan-pelan memperbaiki.

Kalo buat kalian, apa yang menjengkelkan dari Jakarta? Share di comment box ya.


NB: Nggak ada maksud menjelek-jelekkan Jakarta. Tolong jangan laporkan aku ke polisi. Walaupun sesama Batak, aku belum berminat ngikuti jejak Florence Sihombing.  

19 comments

alamak ketawa aku baca postmu bang...apalagi yang ko bilang tak mau ngikuti si florence hahaha

Emang ga mau kayak dia. Makasih ya udah dibaca :)

Ga masalah sih macet, asal lancar. -_-

Sukses terus merantaunya abang sayang ;D

Setuju sama bahasan tentang parkir di minimarket :D
Sering banget nih kena

Susah kali untuk ikhlas pas bayar parkirnya :))

hidup dibekasi beberapa tahun seperti gambaran gimana "semangat"nya hidup dijakarta, aku cuma gak mau hidupku tersita gara gara terlalu "semangat" di sana, aku mau hidup bahagia walau tinggal di pinggir sawah.
sukses terus di kampung orang ya bang :D

welkam tu jakarta bang wakakak awas stress sendiri :v

Hahaha semangat yang loyo ya. Semacam robot jadinya. Amin. Sukses juga buatmu :)

Sudah mulai bisa beradaptasi sekarang :))

Sebenernya seneng tinggal di Jakarta, semua yang dulu dilihat di tivi bisa dilihat langsung :))). Tapi memang masalah transport masih buat stres ya, naik Commuter Line jam pulang kantor berasa lagi main sirkus, udah miring-miring pun berdiri ga jatuh :)))

Aku juga dulu pas kecil sangat ingin ke Jakarta. Tapi memang setiap tempat menawarkan baik dan buruk :)))

Molo hita halak batak didia pe tinggal ikkon boi do mangolu...heheh

Kangen Jogja po Bang??? Hehehehe.... Sabar ya bang.. kata orang yang namanya hidup di Jakarta itu 'keras'...(ehehehehe) semuanya mesti berjuang... kalo gak namanya 'bukan jadi orang sukses.' Dulu, aku sempet tinggal di Bekasi bang... (jaman SD)... padatnya sama kayak Jakarta dari tahun ke tahun... mamaku aja yg dulu kerja di kebayoran baru mesti berangkat dri rumah jam 5 pagi... pulang jam 12 malem... cuma capek dijalan... Tapi memang butuh perjuangan Bang kalo tinggal di kota... Semangat ya bang.... pasti nanti ada waktu untuk pulang lagi ke Jogja... pesan ku 'Jangan bosan ya sama kota Jogja... cintai apa adanya... meskipun kita ga punya duit!! ehehehhe) (maaf bang, kok ak jdi sharing sih...)

Iya, nih. Harus berjuang ya. Btw, thank you for sharing :)

Iyaa.... jangan lupa berdoa ya... ke gereja tiap minggu.... Let your shine bright lah pokoknya... :)

Jangan lupa sama sialnya tinggal di jogja ya bang! :)