Kau tak bisa memilih jalan cerita
masa kecilmu. Begitu pun aku. Setelah lahir dan tinggal hingga umur satu tahun
di Desa Sukarame, Dolok Masihul—hanya setengah jam dari Tebing Tinggi—Bapak dan
Mamak akhirnya pindah ke Desa Pardamean, Kabupaten Dairi. Tanpa meminta
pendapatku, Bapak dan Mamak membawaku serta.
Dari umur satu tahun hingga jadi
anak laki-laki kelas tiga SD yang bandalnya minta ampun, semuanya nyaris
kulewati di kampung itu. Desa Pardamean adalah tempatku digembleng, dikenalkan
hidup, dibikin menangis karena kalah, hingga dibuat tertawa karena hal bahagia. Kita
tau bahwa masa kecil adalah fase dalam hidup yang paling indah. Dan masa indah
itu kuhabiskan di sana.
Menjelang naik ke kelas empat SD,
sebuah kejadian memaksa kami pindah. Desa Pardamean yang sangat dekat dengan
Aceh, tiba-tiba menjadi tempat yang menyeramkan. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang
sedang mengalami pergolakan senjata dengan TNI, entah bagaimana ceritanya,
membuat semua penduduk mengungsi—yang udah baca Ngeri-Ngeri Sedap pasti tau
cerita ini. Kami sekeluarga juga mengungsi. Dan akhirnya memutuskan pindah dari
Desa Pardamean. Sejak kejadian itu, aku tak pernah lagi kembali.
***
Beberapa kali sempat ada rencana
berkunjung ke Desa Pardamean, namun selalu tak kesampaian. Waktu terus berlari,
hingga akhirnya desa itu mulai kami lupakan, mulai kami tinggalkan.
Saat aku, kakak dan kedua adikku dalam
perjalanan pulang dijemput Bapak dan Mamak dari bandara, beberapa hari sebelum
Natal kemarin, tiba-tiba Mamak bilang, “Siap-siap, ya. Tanggal 27-28 kita
jalan-jalan ke Pardamean.”
Kami bersorak
gembira. Pasti aku gembira. Aku sangat penasaran dengan keadaan kampungku itu sekarang. Kemajuan dan perubahan apa yang sudah terjadi. Bagaimana keadaan rumahku dulu, jalan-jalannya sekarang seperti apa, kebaruan apa saja yang sudah ada di sana, apakah aku akan mengenali atau malah akan merasa asing.
Rasanya sangat bergairah. Hidup sudah melangkah sejauh ini. Dan setelah lima belas tahun, aku bisa kembali ke desa itu. Menjemput kenangan-kenangan yang tertinggal. Mencari ingatan-ingatan yang mulai pudar. Bertemu dengan masa lalu pada masa kini. Berwisata nostalgia.
Tanggal 27 Desember 2014, pagi
betul, sekitar pukul dua pagi dini hari, kami berangkat. Tepat saat matahari akan
terbit, kami tiba di sebuah jalan di mana Danau Toba mulai terlihat. Kami
memutuskan berhenti, menikmati munculnya mentari.
Kami berhenti lagi di tepi jalan, dekat dengan sebuah air terjun. Dulu, setiap kali pergi jauh dan kembali ke Desa Pardamean, kami selalu berhenti di air terjun ini.
Air Terjun Lae Pandaroh |
Sekitar tiga jam kemudian, kami berada di Sidikalang, ibukota Kabupaten Dairi. Bapak menunjukkan di mana kami dulu menunggu mobil angkutan dari Sidikalang ke Desa Pardamean. Aku tersenyum, ingat betul tempat itu. Angkutan akan berangkat jika penumpang betul-betul sudah penuh. Aku melihat diriku duduk malas di salah satu kursi, bosan menunggu mobil angkutan yang tak berangkat-berangkat. Satu per satu kenangan datang.
Seingatku dulu, perjalanan dari Sidikalang
ke Desa Parmadean memakan waktu dua jam, karena jalan yang tidak bagus. Banyak
lubang, jalan yang berbukit-bukit dan air dari gunung yang selalu mengalir
membuatnya tak pernah bertahan lama kalau diperbaiki. Ternyata, lima belas
tahun kemudian, keadaan masih serupa. Jalan masih jelek, lubang masih di
mana-mana, aliran air masih saja menyatu dengan jalan.
Pukul sepuluh, kami tiba di Desa
Pardamean. Bapak memarkirkan mobil di halaman mantan rumah kami. Seorang ibu yang
kebetulan sedang berdiri di halaman itu, melihat Mamak, bingung sebentar,
kemudian melonjak melompat memeluk Mamak. Beliau adalah tetangga kami dulu. Haru
sekali suasananya. Aku ikut merasakan bahagianya mereka bisa bertemu
kembali. Aku sendiri hanya familiar dengan wajahnya, tak mengingat banyak.
Kami kemudian masuk ke rumah
mereka, bercerita, melepas rindu. Bapak dan Mamak begitu bersemangat bertanya
kabar banyak orang. Mungkin karena aku masih kecil dulu, aku tak
terlalu ingat tentang orang tua dan nama-namanya. Aku lebih ingat tempat,
momen-momen dan beberapa teman masa kecilku dulu.
Aku, kakak dan adik-adikku pamit
untuk melihat-lihat, meninggalkan Bapak dan Mamak yang asyik bercerita dengan
sahabatnya. Yang pertama kudatangi tentu rumah kami dulu. Rumah itu
ternyata sudah berubah. Wajar saja, sudah lima belas tahun rumah itu jadi milik
orang lain.
Halaman samping rumah, TKP main kelereng dulu |
Aku melihat rumah di sebelah kanan rumahku, rumah seorang kawanku dulu, rumah itu belum berubah, tapi kini sudah tak berpenghuni. Belakangan aku tau, mereka sekeluarga sudah pindah juga ke kota. Rondi namanya. Dia temanku pergi dan pulang sekolah. Dia temanku bermain kelereng, bermain patok lele, bermain engklek, berantem kemudian bermain lagi. Entah di mana dia sekarang.
Halaman rumah Rondi adalah tempat bermain patok lele favorit kami |
Tak jauh dari rumahku, ada gereja. Aku menyempatkan bertandang ke sana. Sekarang gereja ini sudah lebih bagus. Sudah berpagar dan dipugar loncengnya. Sudah jauh lebih baik.
Tempatku berkumpul dengan kawan-kawan setiap hari Minggu |
Di tengah kampung, ada pekan. Kalo orang kota kenal yang namanya pasar, di kampungku ini adanya pekan. Bedanya pekan ini tak berlangsung setiap hari. Hanya sekali seminggu. Aku ingat betul, pekan itu setiap hari Selasa. Dulu Mamak juga berjualan di pekan ini. Aku sering kali disuruh ikut berjualan. Menjajakan es lilin keliling pekan. Aku pun ingat, dulu setiap hendak cukur rambut, kami harus menunggu hari Selasa, saat pekan ada. Aku yang masih kecil entah kenapa tak suka cukur rambut. Dan Mamak selalu menyogokku dengan es cendol supaya mau cukur rambut.
Setiap Selasa, tempat ini jadi rame sekali |
Kios tempat Mamak dulu berjualan, dialihfungsikan jadi tempat jemuran |
Salah satu hal yang membuatku penasaran adalah mual atau pancuran. Apakah penduduk desa masih menggunakannya. Mual adalah tempat orang-orang mendapatkan air, mandi dan mencuci. Dipisahkan oleh tembok untuk laki-laki dan perempuan. Aku ingat setiap pagi harus ke mual, mandi untuk berangkat ke sekolah. Bertemu laki-laki lain yang sama-sama mandi. Kebanyakan memang menggunakan celana dalam saat mandi. Tetapi ada beberapa yang tega memberikan pemandangan suram, bikin orang yang tadinya masih mengantuk mengumpulkan nyawa, jadi benar-benar bangun. Kadang aku berpikir, memang cocok namanya mual. Selain karena bahasa Batak-nya pancuran, kadang-kadang tempat ini memang menyuguhkan pemandangan yang bikin mual.
Ternyata mual masih lestari walau peminatnya mulai berkurang, karena banyak penduduk mulai memasang pompa air di rumahnya. Aku menyempatkan cuci muka di sini.
Karena mandi sambil bersosialisasi itu seru |
Puas melihat-lihat, senyum-senyum dengan memori lama yang pelan-pelan terkuak, kami hendak kembali menemui Bapak dan Mamak. Tiba-tiba seorang ibu penduduk desa datang, bertanya kepada kami hendak ke mana. Mukanya begitu familiar. Kakak menjelaskan kalo kami adalah penduduk di sini dulu, sambil menunjukkan mantan rumah kami. Tiba-tiba ibu itu menyalami kami semua. Dia tersenyum gembira. Aku yang terakhir menyalaminya.
“Aku si Dion,” kataku sambil memajukan tangan, hendak bersalaman.
“Lho, si Dion kau? Bah, udah
besar kau Dion?” katanya sambil memelukku, mencium pipiku. Air matanya mulai tumpah.
Aku bingung dibuatnya.
“Aku Bou Anju, yang jaga-jaga kau
waktu kecil dulu. Ga ingat kau, Dion? Mana Mamak?”
“Aku ingat, Bou. Tapi
samar-samar.” Walau tak ingat dengan jelas, aku merasa bahagia. Aku tau kalo Bou Anju pasti sangat dekat denganku dulu. Beliau pasti sangat merindukan kami.
Beliau memelukku lagi. “Kau dulu
bandal kali. Ke mual aja kerjamu, main air. Akulah disuruh Mamak jaga-jaga kau,
Mamak sibuk jualan. Aduh, udah besar kau, ya.” Aku semakin yakin kalau kami benar-benar sangat dekat dulu, beliau tau mual tempat main favoritku.
“Iya, Bou. Hehe. Ayoklah ketemu
Mamak.”
Puas berkumpul, bercerita, bertukar duka dan suka, kami pamit. Memang rencananya demikian, kami hanya sekedar lewat, bertukar sapa, sekaligus berliburan melanjutkan perjalanan ke Pulau Samosir.
Sebelum meninggalkan Pardamean, aku meminta Bapak mengunjungi sekolahku dulu. SD ini tak jauh dari kampung. Di belakangnya hutan. Kadang-kadang ada monyet kelihatan melompat dari satu pohon ke pohon yang lain. Di sebelah kanannya ada pohon petai. Tiap pulang sekolah kami berlarian mencari petai yang jatuh, oleh-oleh untuk bapak di rumah.
Entahlah sekolah ini masih hidup atau tidak, plank-nya saja sudah tak ada |
Kami sempatkan juga melihat mesjid di kampung ini. Walau mayoritas Kristen, kampung ini punya mesjid. Masyarakat yang beragam hidup rukun berdampingan. Aku sering ke mesjid kalo sedang ada layar tancep. Halaman mesjid selalu jadi pilihan karena luas dan bisa menampung banyak orang. Kawan-kawan muslimku selalu diperlakukan adil, mendapat kesempatan memimpin doa dengan cara Islam sewaktu upacara, padahal mereka totalnya hanya enam orang. Sejak kecil, aku diajarkan toleransi.
Di persimpangan jalan ini, dulu penduduk desa berkumpul saat masa mencekam itu datang. Orang-orang berlomba-lomba mengungsi, meninggalkan kampung mencari tempat yang lebih aman. Lima belas tahun berlalu, persimpangan ini masih sama. Jalan ini masih sama. Kehidupan di kampung ini masih sama.
Persimpangan jalan |
Hampir tidak ada yang berubah. Aku bingung, haruskah kasihan atau bahagia. Lima belas tahun adalah waktu yang panjang. Kota bisa bertambah puluhan mall dalam kurun waktu itu. Tapi Pardamean masih saja sama, masih saja lama.
Kota dan desa memang berbeda. Tapi aku pernah berharap kalau bedanya tak sedrastis ini. Ah sudahlah, memang sedang begitu jalannya. Kota berlari, sementara desa seperti berdiam diri. Atau desa memang sengaja dipasung, agar tak bergerak ke mana-mana.
Terima kasih, Pardamean. Titip kenangan-kenanganku, ya. Semoga suatu saat kau bisa berlari. Amin.
13 comments
Ah suka sekali caramu bercerita kak. Sukses selalu
Ah terima kasih, kak. :*
Uhuuuuyyy, setelah lama menanti tulisan kau bang. Akhirnya. Kalau pas baca buku Ngeri-Ngeri Sedap gue cuma bisa berimajinasi membayangkan tempat kau waktu kecil ini, tapi sekarang, gue jadi tahu kayak gimana kenyataannya. Sukses selalu, bang.
Jadi pengen ke kampungnya bang Bene deh, keren banget soalnya :D
jadi pengen punya kampung tapi dari berojol sampek segini besar udah dimedan ajaa palingan kekampung kalo ada pesta keluarga doank... suka cara abng yng ngepublish murni kebiasaan orang batak. semoga sehat2 selalu biar tersalurkan ide2 briliant itu bng:)
Makasih yak sudah menunggu :)
Datang lah, datangnya pas musim durian, ya. Pasti seru :)
Haha di kota juga ga kalah seru, kok. Makasih ya sudah berkunjung :)
jadi kangen kampung halaman... :'(
Kangen Kampung, hihi. Kalau pekan di kampungku hari rabu bang, hehe. Macam orang yang tak kenal martabak, tiap pekan beli itu terus. Keren bang.... Semoga makin sukses Bang.
Kampung kita kayaknya mirip mirip sedap lae.,
Meski Uda ngebaca beberapa kali, masih tetap haru🤗
Bang! Mamakku anak tebing juga. lulusan SMA 1 Tebing tinggi. Awalnya kan aku suka nonton agak laen dari 2022. Akhir2 ini aku nonton nya tiap hari. Awalnya mamakku gk peduli. Trus muaklah mamakku klo aku nonton agak laen mulu. Trus pas ku kasih tau klo abang sekolah tebing langsung kaget sama senang kali mamakku. Rumah mamakku disitu dekat rel kereta bang. Semenjak itu mamakku nanyain abang trus. Kadang jua ikut nonton bareng aku bang. Hehehe semoga kapan2 bisa ketemu lah abang sama mamakku biar mamakku senang bang! Aminnn