Aku terlahir dalam sebuah
keluarga dengan bapak seorang PNS guru SMP dan mamak yang hanya pedagang
pakaian bekas impor (di Sumatera Utara dinamakan monza). Dengan tanggungan
empat orang anak, keadaan ekonomi keluarga cukup pas-pasan.
Bukannya guru gajinya sudah
lumayan ya dengan tambahan gaji sertifikasi? Betul, tapi bapak yang cuma
lulusan D-2 itu, kesulitan mendapatkannya, sebab pemerintah lebih
memprioritaskan mereka para guru-guru sarjana. Walaupun bapak sudah mengajar
puluhan tahun, tapi karena bapak tidak sarjana, alhasil teman-temannya guru
yang baru beberapa tahun mengajar, namun sudah sarjana, lebih dahulu mencicipi tambahan
gaji sertifikasi itu. Entah di mana logika pemerintah. Aku pun tak paham.
Mamak berusaha sekuat tenaga
membantu. Walau kios yang digunakan masih menyewa dan modal untuk berjualan
sangat terbatas, mamak tetap berjuang melakukan yang terbaik. Gali lobang tutup
lobang dan bermain petak umpet dengan rentenir adalah makanan sehari-hari mamak.
Tak apalah, katanya. Asal usahanya bisa tetap survive.
Syukurnya, dengan keadaan neraca
keuangan keluarga seperti itu, tidak membuat mamak dan bapak mengubur impian
anak-anaknya. Apapun impian kami, bapak dan mamak selalu mendukung. “Tak usah
pikirkan masalah uang. Itu urusan kami,” kata mereka.
Itulah yang membuatku tetap
berjuang mencapai mimpi, tetap berniat melanjutkan pendidikan dan tak menyerah
begitu saja dengan keadaan. Selain itu, kondisi dan pengalaman-pengalam hidup
susah bersama keluarga menjadikan aku orang yang tahu diri.
Karena itulah aku justru
bersyukur (walau sempat kecewa selama beberapa hari) tidak diterima di
Universitas Indonesia. Waktu itu aku mengikuti Simak UI 2009 (Seleksi masuk UI)
dan gagal total. Aku merasa memang Tuhan tak ingin aku kuliah di UI, sebab
keluargaku pasti tidak mampu membiayai kuliahku di sana. Karena itulah juga aku
mengubur impian untuk berkuliah di Teknik Pertambangan ITB, sebab biaya kuliah
dan biaya hidup di Bandung juga akan mencekik leher ekonomi keluargaku. Aku
harus tahu diri. Aku tak bisa memaksakan kehendakku. Dan atas nama tahu diri inilah, sebulan
setelah gagal dalam Simak UI, aku mencoba UTUL-UM UGM (Ujian Tulis Ujian Masuk
Universitas Gadjah Mada), sebab menurut kabar yang beredar, biaya kuliah di UGM
dan biaya hidup di Jogja jauh lebih murah. Rupanya Tuhan sependapat dan
mengijinkanku lulus di kampus ini.
Sifat tahu diri ini terus melekat
dalam kehidupan perantauanku. Aku harus menggunakan uang sehemat mungkin, agar
tidak memberatkan kedua orang tua. Di Jogja, aku memilih sebuah kosan
sederhana, tidak bagus dan tidak juga buruk, dengan biaya 2,5 jua per tahun.
Setahun pertama di Jogja, orang tuaku pontang-panting ke sana ke mari mencari
rezeki menguliahkanku.
Semester tiga aku mendapatkan
beasiswa dari Tanoto Foundation (yayasana milik pengusaha Sukanto Tanoto)
berupa biaya kuliah dan biaya hidup. Aku mulai melepaskan diri dari tanggungan
orang tua. Dengan beasiswa yang lumayan ini, aku bisa berkuliah tanpa
melibatkan banyak bantuan orang tua. Sialnya, di tahun kedua, saat hendak
memperpanjang kosan, pemilik kosan menaikkan harga menjadi 3,5 juta per tahun.
Tanpa pikir panjang, aku pindah dari sana dan mencari kosan yang jauh lebih
murah.
Kondisi kos-kosan tak penting
lagi. Yang penting murah. Asal bisa tidur, mandi dan buang air, sudah cukuplah.
Seorang teman kuliah, yang juga orang Batak dan dengan ekonomi keluarga
pas-pasan (memang banyak perantau Batak dengan kondisi pas-pasan dan hanya
mengandalkan mimpi serta ketekunan) menawarkan untuk pindah ke kosannya. Karena
biaya sewa hanya 1,8 juta per tahun, aku langsung saja menerima tawaran itu.
Kondisi kosan memang tidak bagus.
Ukuran kamar tak lebih dari 3*3 meter. Jarak antara kamar yang berhadapan begitu
rapat, membuat sesak, pengap dan gerah. Tangga untuk naik ke kosan juga memprihatinkan.
Memang betul, ada harga ada kualitas.
Kondisi kamar sempit dan berantakan.
Jarak antar kamar sangat rapat.
Tangga naik-turun yang ala kadarnya.
Namun di kosan inilah aku hingga
sekarang, sudah hampir empat tahun. Tak sekalipun ada niat untuk beranjak pergi.
Setahun yang lalu, aku bergabung
dengan Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV Season 3 (SUCI 3). Keikut-sertaanku
pada program televisi ini, membuat aku punya pemasukan yang lumayan. Lebih dari
cukup seharusnya untuk mencari sebuah kosan yang jauh lebih baik.
Sering kali teman-teman yang
kuajak mampir ke kosan ini menanyakan hal itu. Kenapa aku tidak cari kosan yang
lebih baik dan nyaman saja? Fico, yang beberapa hari yang lalu mampir ke kosanku,
adalah orang kesekian yang bertanya seperti itu.
“Kenapa ga cari kosan lebih bagus
aja, Ben?”
“Aku mungkin bisa nyari kosan
yang tempatnya lebih bagus, Co. Tapi tidak dengan penghuninya.”
Benar! Mudah mendapatkan tempat
yang nyaman untuk tidur, tapi sulit menemukan tempat yang nyaman untuk hidup.
Seusia jarak antar Piala Dunia sudah
umurku di kosan ini. Hal ini membuat aku dan teman-temanku sudah sangat
mengenal dan memahami satu sama lain. Kondisi kamar yang sangat dekat dan
intim, membuat persahabatan di kosan ini begitu menyenangkan. Satu sama lain
sudah sangat akrab, hampir tak ada batas. Aku bebas bercanda tanpa sibuk
memikirkan apakah akan ada yang tersinggung atau tidak. Aku bebas bertingkah
tanpa memikirkan apakah mereka akan membenciku atau tidak. Aku bisa hidup
sebagai diriku sendiri dan teman-teman kosanku bisa menerima itu.
Walau dengan latar belakang yang
sedikit berwarna, dari tujuh kamar, lima kabar diisi orang Batak, satu kamar
dihuni orang Bali dan satu kamar sisanya orang Lombok, tak membuat hubungan
menjadi kaku. Dari sisi agama pun cukup meriah. Dua orang Katolik, tiga orang
Protestan, seorang Hindu dan seorang Muslim. Hal ini juga sama sekali tak
menjadi masalah. Bahkan kami sering kali mempelajari agama satu sama lain,
sekedar menambah pengetahuan.
Saling menyelamatkan sudah
menjadi tradisi di kosan ini. Mungkin karena sama-sama berasal dari ekonomi
susah, satu sama lain paham bagaimana sakitnya tidak punya uang. Mereka yang
sedang punya stok berlebih, selalu siap memberikan pinjaman lunak bagi yang
sedang terkena musibah kantong kering.
Saling pinjam barang sana sini,
minta tolong ini itu, masuk kamar siapapun sesuka hati, dilakukan tanpa rasa sungkan
karena sudah saling mengenal dan menaruh kepercayaan.
Selain itu, kami beruntung punya
Ibu dan Bapak Kos yang baik luar biasa. Menunggak pembayaran uang sewa dan uang
listrik tak masalah buat mereka, selama tidak melarikan diri. Idul Fitri dan
Idul Adha adalah masa-masa yang kami nantikan, sebab makanan enak akan
disajikan gratis buat kami. Bercanda pun sangat menyenangkan dengan mereka.
Tidak kaku dan menutup diri. Mereka sudah seperti orang tua bagi kami.
Mungkin uang mampu menyediakan
tempat yang lebih bagus, tapi tidak dengan kebahagiaan-kebahagiaan sepele itu. Saat aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa penolakan, itulah makna sebuah kenyamanan.
11 comments
Bang mengispirasi kali lhoo..sama cerita kitaa bang..
keren
Luar biasa!
Lingkungan sangat memengaruhi kenyamanan tempat tinggal. Kalau tetangga-tetangga asyik, tempat tinggal kita pun jadi kerasa nyaman. Termasuk juga untuk kos-kosan :D
Kapan pengen main ke sana bang
Terima kasih teman-teman :)
Cool :)
Wah bang, sampe nangis bacanya. :')
Anak rantau yg luar biasa.
keren bang. saya jg orang batak dan kisah kita hampir mirip :)
Sedih
Terharu bang :'
Inspiring banget nih critanya,
Aku juga pernah ingin kuliah di Yogya, tp cuma tinggal angan2,
smoga ke depannya bisa tercapai, amin.
kosanku dulu di jl. Printis kemerdekaan nmr 14, di smping loket ALS(Antar Lintas Sumatera).
wktu itu aku bkrja di PT. Cahaya Sakti Candra Motor.
Kangen, Nasi Kucing.
kwakakkk
:)