Tuesday, April 22, 2014

Makna Sebuah Kenyamanan

Aku terlahir dalam sebuah keluarga dengan bapak seorang PNS guru SMP dan mamak yang hanya pedagang pakaian bekas impor (di Sumatera Utara dinamakan monza). Dengan tanggungan empat orang anak, keadaan ekonomi keluarga cukup pas-pasan.

Bukannya guru gajinya sudah lumayan ya dengan tambahan gaji sertifikasi? Betul, tapi bapak yang cuma lulusan D-2 itu, kesulitan mendapatkannya, sebab pemerintah lebih memprioritaskan mereka para guru-guru sarjana. Walaupun bapak sudah mengajar puluhan tahun, tapi karena bapak tidak sarjana, alhasil teman-temannya guru yang baru beberapa tahun mengajar, namun sudah sarjana, lebih dahulu mencicipi tambahan gaji sertifikasi itu. Entah di mana logika pemerintah. Aku pun tak paham.

Mamak berusaha sekuat tenaga membantu. Walau kios yang digunakan masih menyewa dan modal untuk berjualan sangat terbatas, mamak tetap berjuang melakukan yang terbaik. Gali lobang tutup lobang dan bermain petak umpet dengan rentenir adalah makanan sehari-hari mamak. Tak apalah, katanya. Asal usahanya bisa tetap survive.

Syukurnya, dengan keadaan neraca keuangan keluarga seperti itu, tidak membuat mamak dan bapak mengubur impian anak-anaknya. Apapun impian kami, bapak dan mamak selalu mendukung. “Tak usah pikirkan masalah uang. Itu urusan kami,” kata mereka.

Itulah yang membuatku tetap berjuang mencapai mimpi, tetap berniat melanjutkan pendidikan dan tak menyerah begitu saja dengan keadaan. Selain itu, kondisi dan pengalaman-pengalam hidup susah bersama keluarga menjadikan aku orang yang tahu diri.

Karena itulah aku justru bersyukur (walau sempat kecewa selama beberapa hari) tidak diterima di Universitas Indonesia. Waktu itu aku mengikuti Simak UI 2009 (Seleksi masuk UI) dan gagal total. Aku merasa memang Tuhan tak ingin aku kuliah di UI, sebab keluargaku pasti tidak mampu membiayai kuliahku di sana. Karena itulah juga aku mengubur impian untuk berkuliah di Teknik Pertambangan ITB, sebab biaya kuliah dan biaya hidup di Bandung juga akan mencekik leher ekonomi keluargaku. Aku harus tahu diri. Aku tak bisa memaksakan kehendakku.  Dan atas nama tahu diri inilah, sebulan setelah gagal dalam Simak UI, aku mencoba UTUL-UM UGM (Ujian Tulis Ujian Masuk Universitas Gadjah Mada), sebab menurut kabar yang beredar, biaya kuliah di UGM dan biaya hidup di Jogja jauh lebih murah. Rupanya Tuhan sependapat dan mengijinkanku lulus di kampus ini.

Sifat tahu diri ini terus melekat dalam kehidupan perantauanku. Aku harus menggunakan uang sehemat mungkin, agar tidak memberatkan kedua orang tua. Di Jogja, aku memilih sebuah kosan sederhana, tidak bagus dan tidak juga buruk, dengan biaya 2,5 jua per tahun. Setahun pertama di Jogja, orang tuaku pontang-panting ke sana ke mari mencari rezeki menguliahkanku.

Semester tiga aku mendapatkan beasiswa dari Tanoto Foundation (yayasana milik pengusaha Sukanto Tanoto) berupa biaya kuliah dan biaya hidup. Aku mulai melepaskan diri dari tanggungan orang tua. Dengan beasiswa yang lumayan ini, aku bisa berkuliah tanpa melibatkan banyak bantuan orang tua. Sialnya, di tahun kedua, saat hendak memperpanjang kosan, pemilik kosan menaikkan harga menjadi 3,5 juta per tahun. Tanpa pikir panjang, aku pindah dari sana dan mencari kosan yang jauh lebih murah.

Kondisi kos-kosan tak penting lagi. Yang penting murah. Asal bisa tidur, mandi dan buang air, sudah cukuplah. Seorang teman kuliah, yang juga orang Batak dan dengan ekonomi keluarga pas-pasan (memang banyak perantau Batak dengan kondisi pas-pasan dan hanya mengandalkan mimpi serta ketekunan) menawarkan untuk pindah ke kosannya. Karena biaya sewa hanya 1,8 juta per tahun, aku langsung saja menerima tawaran itu.

Kondisi kosan memang tidak bagus. Ukuran kamar tak lebih dari 3*3 meter. Jarak antara kamar yang berhadapan begitu rapat, membuat sesak, pengap dan gerah. Tangga untuk naik ke kosan juga memprihatinkan. Memang betul, ada harga ada kualitas.


Kondisi kamar sempit dan berantakan.



Jarak antar kamar sangat rapat.



Tangga naik-turun yang ala kadarnya.

Namun di kosan inilah aku hingga sekarang, sudah hampir empat tahun. Tak sekalipun ada niat untuk beranjak pergi.

Setahun yang lalu, aku bergabung dengan Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV Season 3 (SUCI 3). Keikut-sertaanku pada program televisi ini, membuat aku punya pemasukan yang lumayan. Lebih dari cukup seharusnya untuk mencari sebuah kosan yang jauh lebih baik.

Sering kali teman-teman yang kuajak mampir ke kosan ini menanyakan hal itu. Kenapa aku tidak cari kosan yang lebih baik dan nyaman saja? Fico, yang beberapa hari yang lalu mampir ke kosanku, adalah orang kesekian yang bertanya seperti itu.

“Kenapa ga cari kosan lebih bagus aja, Ben?”

“Aku mungkin bisa nyari kosan yang tempatnya lebih bagus, Co. Tapi tidak dengan penghuninya.”

Benar! Mudah mendapatkan tempat yang nyaman untuk tidur, tapi sulit menemukan tempat yang nyaman untuk hidup.

Seusia jarak antar Piala Dunia sudah umurku di kosan ini. Hal ini membuat aku dan teman-temanku sudah sangat mengenal dan memahami satu sama lain. Kondisi kamar yang sangat dekat dan intim, membuat persahabatan di kosan ini begitu menyenangkan. Satu sama lain sudah sangat akrab, hampir tak ada batas. Aku bebas bercanda tanpa sibuk memikirkan apakah akan ada yang tersinggung atau tidak. Aku bebas bertingkah tanpa memikirkan apakah mereka akan membenciku atau tidak. Aku bisa hidup sebagai diriku sendiri dan teman-teman kosanku bisa menerima itu.

Walau dengan latar belakang yang sedikit berwarna, dari tujuh kamar, lima kabar diisi orang Batak, satu kamar dihuni orang Bali dan satu kamar sisanya orang Lombok, tak membuat hubungan menjadi kaku. Dari sisi agama pun cukup meriah. Dua orang Katolik, tiga orang Protestan, seorang Hindu dan seorang Muslim. Hal ini juga sama sekali tak menjadi masalah. Bahkan kami sering kali mempelajari agama satu sama lain, sekedar menambah pengetahuan.

Saling menyelamatkan sudah menjadi tradisi di kosan ini. Mungkin karena sama-sama berasal dari ekonomi susah, satu sama lain paham bagaimana sakitnya tidak punya uang. Mereka yang sedang punya stok berlebih, selalu siap memberikan pinjaman lunak bagi yang sedang terkena musibah kantong kering.

Saling pinjam barang sana sini, minta tolong ini itu, masuk kamar siapapun sesuka hati, dilakukan tanpa rasa sungkan karena sudah saling mengenal dan menaruh kepercayaan.

Selain itu, kami beruntung punya Ibu dan Bapak Kos yang baik luar biasa. Menunggak pembayaran uang sewa dan uang listrik tak masalah buat mereka, selama tidak melarikan diri. Idul Fitri dan Idul Adha adalah masa-masa yang kami nantikan, sebab makanan enak akan disajikan gratis buat kami. Bercanda pun sangat menyenangkan dengan mereka. Tidak kaku dan menutup diri. Mereka sudah seperti orang tua bagi kami.

Mungkin uang mampu menyediakan tempat yang lebih bagus, tapi tidak dengan kebahagiaan-kebahagiaan sepele itu. Saat aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa penolakan, itulah makna sebuah kenyamanan.

11 comments

Bang mengispirasi kali lhoo..sama cerita kitaa bang..

Luar biasa!

Lingkungan sangat memengaruhi kenyamanan tempat tinggal. Kalau tetangga-tetangga asyik, tempat tinggal kita pun jadi kerasa nyaman. Termasuk juga untuk kos-kosan :D

Kapan pengen main ke sana bang

Wah bang, sampe nangis bacanya. :')
Anak rantau yg luar biasa.

keren bang. saya jg orang batak dan kisah kita hampir mirip :)

Inspiring banget nih critanya,
Aku juga pernah ingin kuliah di Yogya, tp cuma tinggal angan2,
smoga ke depannya bisa tercapai, amin.
kosanku dulu di jl. Printis kemerdekaan nmr 14, di smping loket ALS(Antar Lintas Sumatera).
wktu itu aku bkrja di PT. Cahaya Sakti Candra Motor.
Kangen, Nasi Kucing.
kwakakkk
:)